Part 1 : ABIMANYU ABDURRAHMAN RASYID

Abimanyu Abdurrahman Rasyid….   Nama “Abimanyu” adalah wujud dari kegilaan mamanya dengan cerita pewayangan, dan tokoh Abimanyu putra Arjuna merupakan salah satu favoritnya. Kenapa…?  Ya, karena ganteng dan gagah tentunya… J  Sedangkan nama “Abdurrahman Rasyid” merupakan pemberian dari papa tercinta. Alasannya karena artinya sangat baik.   Abdurrahman adalah hambanya Allah yang Maha Pengasih dan merupakan nama yang paling disukai Allah.   Rasyid  artinya cerdas.  Kesimpulannya adalah harapan orang tua bahwa sang putra akan menjadi putra yang tampan, gagah, sholeh dan tentu saja cerdas.

Abimanyu atau Abim, merupakan putra kedua kami dari 3 bersaudara.  Lelaki satu-satunya.  Terlahir normal dan sehat 18 tahun yang lalu (24 April 2001) dengan berat  2,75 kg. Berbekal ASI Eksklusif, usia 3 bulan berat badannya meningkat pesat menjadi 8,5 kg.  Daya tahan tubuhnya luar biasa.  Sakit pertama kali usia 8 bulan.  Ia terkena  batuk pilek dan asma,  dan alhamdulillah sembuhnya cepat.  Perkembangan motoriknya juga baik.  Usia 6 bulan sudah bisa duduk dan usia 12 bulan sudah bisa berjalan.

Semua terasa begitu perfect…. Hanya saja…. Ketika Abim usia 3 bulan, saya mulai melihat ada yang berbeda bila dibandingkan dengan kakaknya dulu. Saat menyusui kakaknya, saya bisa merasakan kehangatan berkomunikasi dengan bayi mungil saya itu.  Walau hanya dengan saling bertatapan mata, sentuhan-sentuhan tangan kecilnya di tubuh saya dan senyum dan tawanya ketika saya ajak bercanda.  Tapi dengan Abim, saya tidak mendapatkan itu.  Interaksi dari saya seperti hanya satu arah, tidak berbalas.  Abim menolak bertatapan mata dengan saya dan ia juga tidak membalas hangat pelukan-pelukan saya.  Ia bisa tertawa maupun tersenyum, tapi bukan karena interaksi dengan saya, tidak jelas karena apa.  Meskipun bingung, saya mencoba berpikir positif bahwa setiap anak berbeda-beda perkembangannya.   Apalagi Abim rutin saya bawa ke dokter spesialis anak untuk imunisasi sekaligus pemeriksaan tumbuh kembangnya.  Hasilnya…masih dalam range normal.

Ketika Abim usia 6-12 bulan, dia mulai aktif dan sering merangkak ke sana ke mari.  Tapi uniknya, dia bisa diam dan fokus lama bila melihat kipas angin yang berputar.  Tidak hanya itu, saat ia menemukan kereta dorongnya yang terlipat, ia asik sendiri memutar-mutar rodanya terus menerus.  Ia juga senang memperhatikan iklan di TV, terutama iklan-iklan yang sering tayang.  Dan hingga usianya bertambah, Abim masih saja buang muka bila kita menatap matanya dan tidak pernah menengok bila dipanggil.  Sampai-sampai tetangga kami menjuluki Abim sebagai cowok cool.

Usia 12 bulan Abim sudah bisa jalan sendiri.  Kalau anak lain berjalan atau berlari mengejar objek yang menarik, maka Abim selalu berjalan membuat lingkaran tanpa jelas tujuannya. Jalannya sangat cepat dan bisa berjam-jam. Dia juga sering berlari cepat bolak balk dari ujung ke ujung dan terus diulang-ulang.   Tidak ada lelahnya. Kalau jatuh atau terluka tidak terlihat kesakitan atau menangis.   Beberapa orang di sekitar kami kagum melihatnya dan berkomentar betapa kuat tenaga anak saya.  Saya bingung dan mulai bertanya-tanya, apakah itu memang sesuatu yang hebat atau sesuatu yang harus dicemaskan.   Apalagi   sampai usia setahun, Abim sama sekali belum bisa berkomunikasi.  Jangankan berkata-kata, untuk menyampaikan keinginannya dengan isyarat pun tidak pernah dilakukan.

Hingga pada bulan September tahun 2002,  suami saya yang bekerja di Bandung (kami LDR-an, karena saya sedang PTT di kota Tasikmalaya) menelpon.  Dia baru saja menemani kawannya ikut seminar tentang anak-anak  berkebutuhan khusus.  And guess what…dia bilang ciri-ciri anak autis yang disampaikan di seminar itu sangat identik dengan Abim.  Dan saya tertegun……  Kata “Autis” tidak terlalu asing di telinga saya.  Saya beberapa kali mendengar walau saya tidak benar-benar paham apa autis itu.  Ketika itu internet masih langka dan perkembangan informasi belum secanggih sekarang. Satu-satunya yang saya tahu…… autis itu  sesuatu yang serius dan saya berharap suami saya salah.

Pada waktu yang nyaris bersamaan, mendadak saya mendapatkan tawaran untuk menjadi TKHI (Tenaga Kerja Haji Indonesia) yaitu sebagai dokter kloter yang direncanakan akan berangkat pada Januari 2003. Tawaran ini saya terima dengan senang hati dan selanjutnya menjadi kesibukan yang luar biasa buat saya.  Karena tidak lama kemudian saya harus menjalani pelatihan selama beberapa minggu dan mau tidak mau Abim harus disapih pada usia 18 bulan.  Selain persiapan untuk keberangkatan haji, saya juga harus menyiapkan kepindahan kami ke Bandung karena masa PTT saya berakhir saat saya pergi haji.  Dengan kesibukan-kesibukan seperti itu, saya dan suami sepakat akan fokus memeriksakan Abim di Bandung setelah saya pulang haji dan kami sudah menetap di Bandung.

Tiba saatnya saya harus bertugas ke tanah suci selama 40 hari dan meninggalkan suami serta ke-2 anak saya yang masih kecil-kecil (yang sulung 4 tahun dan Abim 22 bulan).  Sepulang saya ke rumah, rindu saya terasa membuncah.  Suami dan anak sulung saya menyambut dengan riang dan begitu ekspresif mengungkapkan kebahagiaan mereka. Tapi kehadiran saya tidak berpengaruh pada Abim. Ia tetap acuh dan asik sendiri, tidak peduli ketika saya menyapa dan merangkulnya.

Setelah si sulung tidur, saya mendekati Abim dan memandangi wajahnya.  Sedih rasanya, ketika kita rindu seseorang tapi tidak dipedulikan. Bahkan saya juga tidak yakin ia masih mengenali mamanya,  karena sebelumnya tidak pernah sekalipun ia memandangi wajah saya.  Saya elus-elus kepalanya kemudian mengangkat tubuh gembilnya.  Saya gendong dia, peluk erat dan berkali-kali menciumnya.   Kangeeeeeeennn sekali rasanya.  Dan pelan-pelan saya merasa tangan mungilnya mencengkram bahu saya dan badannya semakin merapat ke tubuh saya. Tangannya semakin erat mencengkram ketika saya beberapa kali mencoba melepaskan gendongannya. Alhasil malam itu saya sama sekali tidak tidur, menemani sang pangeran tampan yang juga terjaga sampai pagi di pelukan saya.  Tidak ada percakapan, canda tawa atau tatapan mata penuh cinta. Hanya ada suara nafas yang teratur dari pria kecil di dekapan saya dan rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuh saya.  Saya bisa merasakan rasa rindu dan cinta yang sama walau tak terucapkan,

Ada apa denganmu, Nak?  Apa yang kamu rasakan mengganggu di tubuhmu?

Mama selalu berdoa buat kamu. Mudah-mudahan kamu hanya mengalami keterlambatan biasa ya….. Insya Allah tidak lama lagi kamu akan berkembang seperti anak-anak lainnya yang seusiamu.

Tidak Nak, kamu tidak autis….kamu hanya sedikit terlambat berbicara dan agak kesulitan. berinteraksi.  Kamu bukan penyandang autis… Bukan…

I love you, my sweetheart.

To be continued : Part 2.  And…….. the Journey Began

 

 

Published by renyrivai

I'm a lucky wife, very happy mom and grateful civil servant

2 thoughts on “Part 1 : ABIMANYU ABDURRAHMAN RASYID

Leave a comment